Posted in Catatan Kaki

Cerita untuk Anakku (1)

      Satu waktu ketika kamu telah mampu membaca, cerita ini akan kusuguhkan untukmu. Cerita tentang seseorang yang sangat menanti dan berharap bisa melihat setiap detail raut wajahmu dengan jelas, menggendongmu dengan otot-otot tangan yang masih kuat, mendengar dengan jelas suara tawa maupun tangismu, serta mengajarimu berjalan dengan kedua kakinya yang masih kokoh. 

       Dia merupakan salah satu orang yang membentuk ibumu menjadi seorang wanita yang kamu kenal sangat dekat saat ini. Jika kamu merasa ibumu sangat keras kepala, maka dari dia-lah keras kepala itu dihibahkan. Tapi, dengan keras kepalanya, dia ngotot menjadikan ibumu yang seorang wanita desa ini bisa meraup pengetahuan hingga ke perguruan tinggi untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan orang banyak. Tak perduli dengan kondisinya yang sedang gulung tikar usahanya, tulang belakang yang sudah tidak sempurna lagi untuk bekerja berat, dan bisik tetangga yang mencelanya, “buat apa menyekolahkan perempuan tinggi-tinggi, jauh lagi, kecuali masih kaya. Paling-paling nanti juga ngurus anak”. Api semangatnya tak pernah padam, iya dia terlalu keras kepala untuk ukuran orang desa yang hanya lulusan Sekolah Dasar.

      Ibumu ini sama keras kepalanya, melihat dia banting tulang, hutang sana-sini, pun masih harus dicaci orang sekelilingnya, membuat ibu tak tinggal diam. Ibumu melakoni macam-macam pekerjaan mulai dari jualan kue, tukang setrika, freelance trainer outbond, sampe kerja di kafe yang pulangnya tengah malam, mencari berbagai macam beasiswa pendidikan hingga penelitian, sampai jadi asisten praktikum dengan tugas yang lumayan menyita waktu. Apakah ibumu tidak capek? Ah tentu saja ibumu ini capek dan merindukan kasur yang cuma bisa dia nikmati paling lama 3 jam setiap harinya. Tapi, dia yang keras kepala mengasah ibumu ini lebih keras kepaka berkali-kali lipat.

      Dia adalah orang yang sangat mencintai cucu-cucunya, tak terkecuali dirimu, nak. Ibu masih ingat harapan-harapannya untuk melihatmu lahir dan berjalan, kala itu ibu masih jauh dari pikiran tentang pernikahan dan melahirkan. Ketika akhirnya kamu lahir dan tumbuh besar, dia sudah tidak lagi sekuat dulu. Dia sudah terbaring di ranjang, tak mampu lagi berjalan, kata dokter tulang kakinya mengalami pengapuran. Penglihatannya sudah semakin melemah serta pendengaran yang tidak sejelas dulu, ibumu harus berbicara dengan keras supaya dia mendengar. Dia tidak mampu menggendongmu, dia tidak bisa mendengar suaramu dengan jelas, dia tidak lagi dapat mengenali detail raut wajahmu, bahkan dia menua dengan sangat cepat, tapi bukan berarti dia tidak sayang kepadamu, nak. Dia adalah salah satu orang yang menantikan kehadiranmu di dunia ini. Tentu saja sebesar rasa sayangnya kepada ibumu dulu. Jika satu waktu kamu telah mengerti, ibu ingin kamu mengenalnya sebagai Mbah Kakung, orang yang sangat berharap bisa berada di sampingmu ketika kamu tumbuh dewasa dengan segala indra yang masih kuat dan kokoh untuk mengajarimu berbagai hal.

*saat usiamu 38,5 minggu di rahim ibu*

Photo by R.A.S

Leave a comment